Di dalam KAP sendiri memuat
setidaknya ada tiga aturan yang memuat aturan atau standard – standart dalam
aturan auditing yaitu: prinsip etika, aturan etika dan interpretasi aturan
etika. Dan dalam kesempatan ini saya akan mendeskripsikan prinsip etika yang
meliputi delapan butir dalam pernyataan IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007
(dalam bahasa pemahaman sendiri).
1. Tanggung Jawab
profesi
Dalam melaksanakan pekerjaan dan tanggung
jawabnya sebagai bidang yang ahli dalam bidangnya atau profesional, setiap
auditor harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam
setiap kegiatan yang dilakukan seperti dalam mengaudit sampai penyampaian hasil
laporan audit.
2. Kepentingan Publik
Profesi akuntan publik memegang peran yang
penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari
klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia
bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan
integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
Karena tanggung jawab yang dimiliki oleh auditor adalah menjaga kredibilitas
organisasi atau perusahaan.
3. Integritas
Auditor harus memiliki integritas yang tinggi,
sama seperti hal dalam kepentingan publik, auditor adalah peran yang penting
dalam organisasi, dalam menjalankan tanggung jawabnya auditor harus memiliki
integritas yang tinggi, tidak mementingkan kepentingan sendiri tetapi
kepentingan bersama atas dasar nilai kejujuran. Sehingga kepercayaan masyarakat
dan pihak – pihak lain memeliki kepercayaan yang tetap.
4. Objektivitas
Setiap auditor harus menjaga obyektivitasnya dan
bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan
nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan
auditor bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah
pengaruh pihak lain. Akan tetapi, setiap auditor tidak diperbolehkan memberikan
jasa non-assurance kepada kliennya sendiri, karena dapat menimbulkan tindakan
yang dapat melanggar peraturan atau kecurangan.
5. Kompetensi dan
Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa
profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada
tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja
memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir.
Auditor diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai dan sikap yang konsistensi
dalam menjalankan tanggung jawabnya.
6. Kerahasiaan
Setiap auditor harus menghormati kerahasiaan
informasi yang diperoleh selama melakukan jasanya dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan klien atau pihak – pihak
yang terkait, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya.
7. Perilaku Profesional
Setiap auditor harus berperilaku yang konsisten
dengan karakter yang dimiliki yang harus dapat menyesuaikan perilakunya dengan
setiap situasi atau keadaan dalam setiap tanggung jawabnya terhadap klien.
8. Standar Teknis
Setiap auditor harus melaksanakan jasa profesionalnya
sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai
dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, auditor mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan
dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang
harus ditaati auditor adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan
pengaturan perundang-undangan yang relevan.
Kredibilitas
Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk
menimbulkan kepercayaan. Aplikasi umum yang sah dari istilah kredibilitas
berkaitan dengan kesaksian dari seseorang atau suatu lembaga selama
persidangan. Kesaksian haruslah kompeten
dan kredibel
apabila ingin diterima sebagai bukti dari sebuah isu yang diperdebatkan.
Profesionalisme
Profesionalisme (profésionalisme) ialah sifat-sifat (kemampuan,
kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya
terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional.[1]
Profesionalisme berasal daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion
dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Jadi,
profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seseorang yang
profesional (Longman, 1987).[2]
Skeptisisme
DEFINISI
Menurut
kamus besar bahasa indonesia skep-tis yaitu kurang percaya, ragu-ragu
(terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman
menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Sedangkan skeptis-isme
adalah aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan,
mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme
terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Jadi
secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang
tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
Dalam
penggunaan sehari-hari skeptis-isme bisa berarti:
- suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan
baik secara umum atau menuju objek tertentu;
- doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di
wilayah tertentu belum pasti; atau
- metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan
sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis (Merriam-Webster).
Dalam
filsafat, skeptis-isme adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau
dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
- sebuah pertanyaan,
- metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan
sistematis dan terus menerus pengujian,
- kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari
nilai-nilai moral,
- keterbatasan pengetahuan,
- metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan
yang ditangguhkan.
skeptisme menurut ilmu pengetahuan
Skeptisime
sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari yunani kuno. Pemahaman yang
kira-kira secara gampangnya “tidak ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang
pasti” “Saya ragu-ragu.” sebuah pernyataan yang akan diprotes karena memiliki
paradoks. Jika memang tidak ada yang bisa diketahui, darimana kamu
mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti, perkataan itu sendiri sesuatu
kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-ragu.
Skeptis
juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita
sadari. Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita diculik pocong tentu saja
kita mengerutkan kening. Kemudian kita tidak mempercayai dengan mudah, kita
anggap isapan jempol, urban legend, palsu. Orang skeptis bisa memberikan
argumen-argumen keberatan terhadap cerita tersebut. Mereka meminta bukti,
menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain sebagainya.
Dengan
kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau
menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti
yang benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak langsung mempercayainya.
Sifat
semacam ini penting bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu
kepastian yang seakurat mungkin karena itu ilmuan diharapkan skeptis. Ilmuan
tidak boleh langsung percaya begitu saja terhadap berita, percobaan dan lain
sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu pengetahuan yang ketat.
Jika
seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan kemudian
bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Ini karena ilmu
tidak boleh mudah percaya. Ini karena di dunia banyak penipu dan pembohong, ada
mereka yang menyatakan melihat sesuatu padahal tidak ada di sana. Ada juga
mereka yang merasa melihat sesuatu padahal sebenarnya tidak. Jika komunitas
ilmuan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan meminta yang lain
supaya percaya, maka celakalah.
skeptisisme menurut filsafat
Sikap
skeptis adalh sebuah pendirian didalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya.
Para skeptikus sudah ada sejak zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat
modern, Rene Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah.
Kesangsian descartes dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis,
tetapi skeptis-isme macam itu bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalh
untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaiutu: cogito atau
subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat D.Hume
kita menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan
hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir
yang bersifat tetap.
Dalam
filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran mengenai
"Skeptikoi". Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka
"tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja." (Liddell
and Scott). Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi
filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan. Sextus
Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard
University Press, Cambridge, Massachusetts, 1933, 21
skeptisisme menurut agama
Dalam
agama, mempertanyakan merujuk kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip
dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)."
(Merriam–Webster) Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour,
yaitu John F. Haught [1995], yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi
pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan
konfirmasi.Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang
hubungan sanis dan agama, sebagai berikut : Pendekatan Konflik, suatu
keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau
dipadukan. Artinya banyak pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak
akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi
yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan
pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering
mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”,
sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar.
Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang
liar,sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu
emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak
memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya
tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar
sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu
beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual,
metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat
dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains”
menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam
dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke
kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini,
terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.Pendekatan kontras, suatu
pernyataan bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan
sains memberi tanggapan terhadapmasalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan
agamawan [teolog]tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains.
Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga secara
logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama
absah [valid] meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang
sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu
juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan
lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan
yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar
mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama
berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak
perlu mencampuri urusan satu sama lain. Pendekatan Kontak, suatu pendekatan
yang mengupayakan dialog,interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara
sains dan agama,dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut
mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama
dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah
menjadi dua ranah [dikotomik]. Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang
dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju
bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam
dunia kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana
diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata mempertanyakan dapat
menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan lain lebih sering
menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima
atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan
mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan
apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara
empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.
Konservatisme
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini
berasal dari bahasa Latin, conservāre, melestarikan; "menjaga, memelihara,
mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan
berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang
berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha
kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau, the status quo ante.
Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik sebagai “bertahannya dan
penguatan orang-orang tertentu dan ungkapan-ungkapan kebudayaannya yang
dilembagakan.”[1] Roger Scruton menyebutnya sebagai “pelestarian
ekologi sosial” dan “politik penundaan, yang tujuannya adalah mempertahankan,
selama mungkin, keberadaan sebagai kehidupan dan kesehatan dari suatu organisme
sosial.”[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Konservatisme